Aku teringat dulu. Sangat dulu .Entah kapan tepatnya. Yang pasti, saat itu adalah kali pertama aku masuk kelas ini. Jujur saja, aku takut. Untuk mengenali lingkungan baru, tak pernah kurasa setegang ini sebelumnya. Mungkin karena siapapun yang mengucap kata akselerasi akan meng-embel-embelinya dengan kata pintar, cerdas, cepat, sebagai penyambung kata selanjutnya. Ayahku pun sama. Akselerasi itu pintar. cerdas. cepat. Kata beliau. Tak pernah kuinginkan untuk masuk bahkan bergabung dengan kelas itu. Selain, ya, ini adalah angkatan pertama akselerasi sekolahku--yang dengan kata lain, mau tidak mau, menjadi kelinci percobaan-- aku memang tidak berminat. Aku memiliki kecintaan yang berlebih pada kebebasan dan petualangan. Dan kelas yang notabene dengan anak pintar, cerdas, cepat, serta.. tertekan, tentu bukanlah hal yang cocok denganku. Jikalau dianalogikan sebagai hubungan sepasang kekasih, aku adalah seorang yang bebas dan kekasihku adalah seorang yang posesif. Bagai air dan minyak, kami takkan pernah menyatu.
"Eh, bukannya besok lomba kebersihan kelas ya?", tanya Agista, teman sebelahku. "Hm..." Aku berdeham. Kuketuk-ketukan jari pada dagu, mencoba mengingat-ingat. "Kayaknya sih iya, Gis", jawabku ragu. "Terus banner slogan kelas gimana? Kan kita belum pasang!" Sahut Winda dari belakang yang rupanya menyimak percakapan kami. "Yah, ngga bisa pulang cepet dong?", kataku sedikit cemberut. "Hah, iya nih..", sahut gista menimpali dengan wajah yang nggak kalah cemberut. "Napa kita nggak minta bantuan anak cowok aja?", usulku akhirnya. "Ah, kayak nggak tau anak cowok kelas kita aja! Mana ada peduli sih? Mau monas runtuh juga mereka biasa aja!", Sahut Indi dengan nada meninggi. "Lu kapan dateng ndi?", tanyaku. "Hehehe barusan", katanya sambil nyengir. "Abisnya denger usulmu minta bantuan anak cowok tuh nggak masuk akal banget! Makanya gue langsung nyaut".
"Tapi bener juga sih kata Indi. Minta bantuan anak cowok tuh percuma. Kayak ngomong sama batu!", kata Winda dengan nada yang ikut meninggi. Sebagai wakil ketua kelas, selama ini Winda memang sudah cukup sabar menghadapi kelakuan anak cowok. Dan nada tingginya kali ini sebenarnya sangatlah bisa dimaklumi.
"Yaudahlah kita benerin sendiri dulu. Kali aja mereka kesambet terus mau bantu kita", kata Agista mencoba menetralkan suasana yang sudah semakin memanas.
Krrrttt Krrrrttt.. "Aduuuuh mejanya beraaaat", keluh Agista. "Diangkat gis. Sini aku bantu", kataku menawarkan diri. Susah payah, dengan terhuyung, kami mengangkat meja itu berdua, meletakkannya dan menyeretnya sampai merapat tembok belakang kelas. "Haaah.. Akhirnya.. Siapa ini yang naik buat masang banner? Si Indi sama Si Winda mana?", tanya Agista. "Tuh Si Indi lagi nyapu di depan, Si Winda...", Kata-kataku terhenti, hatiku terhenyak melihat beberapa anak cowok sedang asyik bermain komputer kelas, dan tampak tak peduli dengan Indi yang sedang sibuk menyapu disampingnya, bahkan mereka dengan suara kerasnya tertawa-tawa sambil sesekali mengumpat ketika pemain yang dimainkannya gagal memasukkan bola ke gawang lawan. "Ah pasti main PES lagi", kataku sedih, sedikit marah juga kecewa. "Padahal udah diperingatin Bu Titis lho. Masih tetep aja", sahut Agista ikut mengomentari. "Sedih gue punya temen cowok yang nggak bersikap cowok kayak gini", kataku kesal. "Iya, padahal kita kelihatan susah payah benerin kelas, tapi mereka nggak respect sama sekali.". Kami menghela nafas bersamaan, entah sudah keberapa kali untuk hari ini.
"Gis, Sy, Bannernya..", kata Winda sambil menunjuk banner mengisyaratkan kami untuk segera memasangnya. Melihat wajah kami yang tak bersemangat, Winda menghampiri kami. "Kenapa kalian?" "Tuh..", jawabku sambil melirik sinis ke arah anak anak cowok yang masih saja asyik. "Oh, mereka. Aku dari tadi juga kesal sama mereka. Pedulinya kemana sih! Hih! Gue samperin aja!", Kata Winda sambil melangkah cepat menghampiri anak anak cowok tadi. "Kalian, nggak ada minat bantuin kita?" Winda bertanya dengan sedikit kesal. "Hmmm..", jawab mereka malas. Ah sial! meleset! Gara gara lo sih! Stik lo juga, sialan!" "Eh sialan lo nyalahin gue! Kiper gue emang T O P B E G E T E men!". Winda menyerah. Dia tau usaha mengajak anak anak cowok itu takkan berhasil. Aku bertambah muram melihat pemandangan barusan. Wakil ketua kelas saja tak dianggap. Aku menggerutu kesal. Tiba tiba ku rasa sesuatu menyentuh pundakku. Aku menoleh. Tangan Agista rupanya. "Banner kita belum selesai. Nggak ada waktu ngurusin mereka" Aku tau Agista juga kesal. Lelah. Begitu juga Aku, Winda, dan Indi. Kami tak tahu lagi harus berbicara dengan cara apalagi. Berbicara dengan mereka memang sulit. Sesulit berbicara dengan batu.