2 Desember 2012

Seperti Bicara dengan Batu

Kubuka mata. Mengerjap ngerjapkannya sebentar. Lalu kutatap langit-langit kamarku. Kosong. Lebih pada mengumpulkan kesadaran. Atau nyawa. Sepersekian detik kemudian, lebih tepatnya setelah nyawaku terkumpul, kurasa ada sesuatu menindih perutku. Kudongakkan sedikit kepalaku. Ah ternyata semalam aku tertidur setelah buku biologi setebal 320 halaman, ditambah 4 halaman catatan dan sampul berhasil membiusku. Aku bangkit. Kuangkat buku bersampulkan bebek seksi yang sedang berenang itu. Sungguh gambar yang aduhai di mata para bebek jantan. Kualihkan pandangan pada seisi kamarku. Tak kuhiraukan lagi sampul yang aduhai itu. Aku menghela nafas. Sedikit tersenyum miris mengingat bebek seksi pun ternyata tak mampu membuatku tertarik. Aku memandangi jam. Bukan untuk mengetahui pukul berapa sekarang tetapi untuk memelototi benda itu, yang sudah sedari tadi meneriakiku tanpa henti, memaksaku segera berdiri, mandi, menyantap sarapan, berangkat. Dan menjalani hidupku. Hidup yang membosankan.
-----

Aku melangkah gontai ke ruang kelas. Langkahku terasa berat hari ini. Hari ini. Bukan. Setiap hari. Tak terpancar sedikit pun semangat. Tak sedikit pun. Dengan malas kulihat papan di depan pintu kelasku itu. "XI ACCELERATION". Oh man, kelas neraka kau tahu. Pasti ketika mengetik, orang yang membuat papan itu sangat mengantuk atau habis kena piring terbang yang dilempar istrinya karna telah tertidur di kandang ayam saking mengantuknya. Apapun itu, tak seharusnya tulisan itu terpampang disana.


"Woy!" Sentak seseorang mengagetkanku. Aku menatapnya malas. Ternyata Clara. Ujung bibirnya menyungging sedikit jahil. Puas melihat aku yang sempat terkaget disentaknya. Tak lama saling pandang, anak ajaib semitomboy itu berbalik dan melangkah menuju bangku miliknya. "Haaah.." Aku menghela nafas untuk kedua kalinya dalam pagiku ini. "Lagi lagi kejadian yang selalu sama"

Aku teringat dulu. Sangat dulu .Entah kapan tepatnya. Yang pasti, saat itu adalah kali pertama aku masuk kelas ini. Jujur saja, aku takut. Untuk mengenali lingkungan baru, tak pernah kurasa setegang ini sebelumnya. Mungkin karena siapapun yang mengucap kata akselerasi akan meng-embel-embelinya dengan kata pintar, cerdas, cepat, sebagai penyambung kata selanjutnya. Ayahku pun sama. Akselerasi itu pintar. cerdas. cepat. Kata beliau.  Tak pernah kuinginkan untuk masuk bahkan bergabung dengan kelas itu. Selain, ya, ini adalah angkatan pertama akselerasi sekolahku--yang dengan kata lain, mau tidak mau, menjadi kelinci percobaan-- aku memang tidak berminat. Aku memiliki kecintaan yang berlebih pada kebebasan dan petualangan. Dan kelas yang  notabene dengan anak pintar, cerdas, cepat, serta.. tertekan, tentu bukanlah hal yang cocok denganku. Jikalau dianalogikan sebagai hubungan sepasang kekasih, aku adalah seorang yang bebas dan kekasihku adalah seorang yang posesif. Bagai air dan minyak, kami takkan pernah menyatu.
-----
"Kriiing.." Bunyi bel terdengar kelewat nyaring di telingaku. Dan aku tau pasti, tak hanya di telingaku, tetapi juga di telinga makhluk-makhluk indah ciptaan Tuhan yang sudah sedari tadi mati bosan mendengar penjelasan panjang lebar kali tinggi yang disampaikan pahlawan tanpa tanda jasa itu. Aku yakin pula tak terkecuali di telinga putri tidur yang sudah tak sadarkan diri  sambil ngowoh menikmati perjalanan menuju sleeping beaty-nya. Syukurlah bel pulang, pikirku yang kutahu pasti mewakili pikiran semua spesies yang ada di kelas ini. Makhluk-makhluk indah ciptaan Tuhan yang mati bosan tadi nampaknya telah hidup kembali setelah ditiupkan sangkakala penanda berakhirnya pelajaran, begitu pula dengan putri tidur yang terlihat sedikit sebal karena terbangun dari sleeping beaty-nya namun juga senang karena tahu yang membangunkannya adalah sangkakala paling nyaring di sepanjang perjalanan indah tidurnya. "Sekian dulu anak- anak. Dilanjutkan pertemuan selanjutnya. Selamat siang" "Siang paaaaak", sahut mereka penuh semangat.

"Eh, bukannya besok lomba kebersihan kelas ya?", tanya Agista, teman sebelahku. "Hm..." Aku berdeham. Kuketuk-ketukan jari pada dagu, mencoba mengingat-ingat. "Kayaknya sih iya, Gis", jawabku ragu. "Terus banner slogan kelas gimana? Kan kita belum pasang!" Sahut Winda dari belakang yang rupanya menyimak percakapan kami. "Yah, ngga bisa pulang cepet dong?", kataku sedikit cemberut. "Hah, iya nih..", sahut gista menimpali dengan wajah yang nggak kalah cemberut. "Napa kita nggak minta bantuan anak cowok aja?", usulku akhirnya. "Ah, kayak nggak tau anak cowok kelas kita aja! Mana ada peduli sih? Mau monas runtuh juga mereka biasa aja!", Sahut Indi dengan nada meninggi. "Lu kapan dateng ndi?", tanyaku. "Hehehe barusan", katanya sambil nyengir. "Abisnya denger usulmu minta bantuan anak cowok tuh nggak masuk akal banget! Makanya gue langsung nyaut".
"Tapi bener juga sih kata Indi. Minta bantuan anak cowok tuh percuma. Kayak ngomong sama batu!", kata Winda dengan nada yang ikut meninggi. Sebagai wakil ketua kelas, selama ini Winda memang sudah cukup sabar menghadapi kelakuan anak cowok. Dan nada tingginya kali ini sebenarnya sangatlah bisa dimaklumi.
"Yaudahlah kita benerin sendiri dulu. Kali aja mereka kesambet terus mau bantu kita", kata Agista mencoba menetralkan suasana yang sudah semakin memanas.

Krrrttt Krrrrttt.. "Aduuuuh mejanya beraaaat", keluh Agista. "Diangkat gis. Sini aku bantu", kataku menawarkan diri. Susah payah, dengan terhuyung, kami mengangkat meja itu berdua, meletakkannya dan menyeretnya sampai merapat tembok belakang kelas. "Haaah.. Akhirnya.. Siapa ini yang naik buat masang banner? Si Indi sama Si Winda mana?", tanya Agista. "Tuh Si Indi lagi nyapu di depan, Si Winda...", Kata-kataku terhenti, hatiku terhenyak melihat beberapa anak cowok sedang asyik bermain komputer kelas, dan tampak tak peduli dengan Indi yang sedang sibuk menyapu disampingnya, bahkan mereka dengan suara kerasnya tertawa-tawa sambil sesekali mengumpat ketika pemain yang dimainkannya gagal memasukkan bola ke gawang lawan. "Ah pasti main PES lagi", kataku sedih, sedikit marah juga kecewa. "Padahal udah diperingatin Bu Titis lho. Masih tetep aja", sahut Agista ikut mengomentari. "Sedih gue punya temen cowok yang nggak bersikap cowok kayak gini", kataku kesal. "Iya, padahal kita kelihatan susah payah benerin kelas, tapi mereka nggak respect sama sekali.". Kami menghela nafas bersamaan, entah sudah keberapa kali untuk hari ini.
"Gis, Sy, Bannernya..", kata Winda sambil menunjuk banner mengisyaratkan kami untuk segera memasangnya. Melihat wajah kami yang tak bersemangat, Winda menghampiri kami. "Kenapa kalian?" "Tuh..", jawabku sambil melirik sinis ke arah anak anak cowok yang masih saja asyik. "Oh, mereka. Aku dari tadi juga kesal sama mereka. Pedulinya kemana sih! Hih! Gue samperin aja!", Kata Winda sambil melangkah cepat menghampiri anak anak cowok tadi. "Kalian, nggak ada minat bantuin kita?" Winda bertanya dengan sedikit kesal. "Hmmm..", jawab mereka malas.  Ah sial! meleset! Gara gara lo sih! Stik lo juga, sialan!" "Eh sialan lo nyalahin gue! Kiper gue emang T O P B E G E T E men!". Winda menyerah. Dia tau usaha mengajak anak anak cowok itu takkan berhasil. Aku bertambah muram melihat pemandangan barusan. Wakil ketua kelas saja tak dianggap. Aku menggerutu kesal. Tiba tiba ku rasa sesuatu menyentuh pundakku. Aku menoleh. Tangan Agista rupanya. "Banner kita belum selesai. Nggak ada waktu ngurusin mereka" Aku tau Agista juga kesal. Lelah. Begitu juga Aku, Winda, dan Indi. Kami tak tahu lagi harus berbicara dengan cara apalagi. Berbicara dengan mereka memang sulit. Sesulit berbicara dengan batu.
------

6 comments:

fadly mengatakan...

hehehehe,,
kocak abiss..
trus berkarya arr.. :D

Bocah Kediri mengatakan...

iya makasih, Dly ^^

fadly mengatakan...

aamiiin ...
kalau dijalani dengan rasa ikhlas,
mudh2han kelasnya bisa menang lomba kbrsihan arr.. :D

Anonim mengatakan...

cieeee :v

Dea mengatakan...

hampir sama kayak suasana kelas ane :3

Bocah Kediri mengatakan...

ckck anak jaman sekarang.

Posting Komentar

 

Blog Template by BloggerCandy.com